Rabu, 31 Oktober 2012

Pulang, Pulang, Pulang

Menyusul perkelahian massal di Bangli bulan Juli 2011 yang menelan nyawa manusia, seorang sahabat bertanya, bagaimana mungkin di tempat sejuk seperti Bangli bisa terjadi peristiwa panas? Seorang murid yang penuh bakti lain lagi, ia mengirim pesan: “Guru, lebih sering pulang, Bali memerlukan lebih banyak kesejukan”.

Mulih

Meminjam cara pandang tetua Bali, tiap kali perisitiwa ekstrim terjadi tetua selalu menoleh ke Pura. Dan sulit untuk tidak menoleh ke Pura Kehen tatkala Bangli dinodai darah manusia lagi. Terutama karena masih terang dalam ingatan di mana seorang wartawan dihabisi nyawanya juga di Bangli. Kebanyakan warga Bangli khususnya dan sebagian krama Bali umumnya tahu, di Pura Kehen yang berumur amat tua ini tetua menyimpan prasasti tua yang mengingatkan orang Bali untuk pulang.


Pengertian pulang memang amat beragam. Tapi sebagian pencari yang sudah menghirup sejuknya puncak gunung spiritualitas tahu, pulang serupa dengan masa kanak-kanak dulu. Di mana sehabis jam sekolah kita berlari ke rumah, ke sebuah tempat di mana semuanya disambut dengan senyuman dan pelukan. Dan bukan kebetulan yang tidak bermakna apa-apa, bila tidak jauh dari Pura Kehen, masih dalam kawasan kabupaten Bangli, di tempat di mana danau (yoni) memeluk gunung (linggam), tetua mendirikan Pura Jati alias rumah sejati. Di sana tidak saja hawanya sejuk, pemandangannya indah, tapi juga penuh vibrasi kesejatian. Di tataran kesejatian, dualitas (benar-salah, baik-buruk, suci-kotor) tidak ada sebagai bahan-bahan perkelahian. Melainkan menjadi kekuatan yang saling menerangi. Ia serupa malam yang membukakan pintu bagi datangnya siang. Mirip kegagalan yang membuat kesuksesan menjadi lebih kaya rasa. Demikian juga dengan kejahatan, ia memberikan pembanding tentang indahnya kebajikan.

Digabung menjadi satu, pesannya terang benderang, kekerasan bukan rumah alami orang Bali. Bali dikagumi dunia bukan karena peritiwa kekerasan di tahun 1965, tapi karena kedamaiannya yang menawan. Boleh tanya ke wisatawan manca negara yang kerap datang, apa lagi yang dicari di Bali kalau bukan kedamaian. Tatkala bom teroris pertama kali meledak di Bali, lagi-lagi dunia menatap kagum ke pulau Bali, bukan karena batu yang dilemparkan ke tempat ibadah orang lain, melainkan karena keluasan pandangan, kedalaman sikap orang Bali yang berujung pada satu hal: “semuanya dipeluk lembut dengan senyuman”. Yang lebih menyentuh hati lagi, orang yang diberi berkah berlimpah oleh pulau Bali setelah bom meledak adalah nyama selam (saudara kandung kita yang beragama Islam) Bapak Haji Bambang. Bila boleh jujur, inilah Parama Shanti yang menjadi puncak persembahyangan orang Bali. Di mana tidak ada ruang bagi kekerasan, semuanya dipeluk lembut dengan senyuman. Tetua Bali menyebutnya Embang (hening). Ada puranya yang berlokasi sekitar danau Tamblingan.

Semua ini berpesan terang sekali, pulang ke rumah sejati. Di rumah sejati, berlaku rumus sahabat dari Manado: “torang basodara“. Kita semua bersaudara dalam kasih sayang, satu orang tua dalam belas kasih, satu atap rumah yang sama karena sama-sama mau bahagia sama-sama tidak mau menderita. Atau berlaku rumus tetua di Jawa: mangan ora mangan ngumpul. Persahabatan, kekerabatan, kasih sayang lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan nafsu rendah yang hanya mengutamakan perut kenyang.

Dalam buku suci Tantra ditulis terang sekali, kita pernah terlahir dalam jumlah yang tidak terhitung. 0leh karena itu, ada tidak terhitung jumlah makhluk di alam ini yang pernah menjadi ibu, bapak, Guru, saudara kandung, dokter atau perawat yang pernah menolong dan menyembuhkan kita. Bila ini acuannya, kegiatan saling menyakiti tidak saja tidak memungkinkan manusia membayar hutang-hutang karmanya yang berlimpah, malah menambahnya dengan hutang-hutang karma baru yang lebih menakutkan.

Seorang Guru di India sekitar dua ribu enam ratus tahun lalu ditanya, seberapa banyak manusia yang setelah meninggal perjalanannya naik dan turun? Dengan mengejutkan Guru yang mata spiritualnya sudah terbuka sempurna ini menjawab: “yang bergerak naik sebanyak pasir dalam genggaman, yang bergerak turun sebanyak pasir di sepanjang sungai Gangga”. Bayangkan, itu dua ribu enam ratus tahun yang lalu. Di sebuah waktu di mana belum terdengar adanya alat-alat penghancur dengan daya musnah sedahsyat saat ini. Sekarang, di mana yang disebut berita adalah permusuhan, yang dibaca dan ditonton orang adalah  perkelahian, yang didengar orang kebanyakan adalah kebencian, tanpa bekal-bekal spiritualitas mendalam, sulit untuk tidak mengatakan bila di zaman ini yang jatuh turun ke alam binatang, setan bahkan neraka setelah meninggal malah lebih banyak lagi.

Membuka tirai seperti ini, tentu bukan untuk menakut-nakuti orang, tapi untuk membunyikan Genta yang sudah dikumandangkan lagi dan lagi: “pulang, pulang, pulang”. Seperti anak-anak yang bermain, kemarahan, kekerasan, permusuhan menunjukkan bahwa anak-anak spiritual sudah bermain terlalu jauh dari rumah. Kecelakaan, kesialan, kematian adalah tangan keras Guru yang mencubit dengan penuh kasih sayang. Dengan niat tidak lain dan tidak bukan agar para murid tidak jatuh turun setelah waktu kematian. Syukur-syukur bisa mendekati Guru, belajar spiritualitas mendalam, kemudian ikut membantu Guru meringankan beban penderitaan banyak sekali makhluk yang memerlukan pertolongan.

Kebanyakan sahabat yang terlahir di desa tua Bali tahu, persahabatan, persaudaraan, pertemanan itulah menu spiritual keseharian orang Bali. Di desa Tajun Bali Utara sebagai contoh, dulunya tidak ada buruh tani. Melalui tradisi tua yang sudah nyaris punah bernama nguwun, semua pekerjaan ladang dikerjakan bersama-sama sebagai bukti betapa kentalnya menu-menu persahabatan, persaudaraan, pertemanan dalam darah spiritual orang Bali.

Tidak semua orang Bali menyukai pendekatan pulang seperti ini. Sebagian malah menuduh undangan untuk pulang ini sebagai bahan-bahan kemunduran. Dan tentu saja ini layak dihormati. Namun, di putaran waktu tatkala kekerasan sudah demikian memanasnya bahkan di tempat sejuk sekalipun sekaligus memakan nyawa manusia, kita memerlukan kelembutan-kelembutan. Sebagaimana tubuh fisik yang nyaman pulang, tubuh spiritual juga memiliki kerinduan untuk pulang. Bila kekerasan bermusuhan bahkan dengan sesama kekerasan, kelembutan tidak bermusuhan dengan siapa-siapa. Puncak kelembutan ketemu tatkala seseorang bisa melihat, memperlakukan semua sempurna pada tempatnya. Sesempurna rumput yang berwarna hijau, laut yang berwarna biru.

Sehabis ini, terpulang ke orang Bali, mau pulang ke rumah sejati, atau terasing (merasa aneh) di tengah arus zaman sehingga bernasib seperti ikan di udara, serupa burung di kedalaman lautan.





Tidak ada komentar: